Obrolan Singkat di Hari Itu
Ara ingat betul, pada suatu masa Ia berdandan cantik. Ia menggunakan baju putih dan celana panjang, dengan anting kecil di telinganya sebagai pemanis. Ia akan menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya waktu itu, pesta yang sebenarnya dia ragu untuk datang.
Seminggu yang lalu sebelum acara di hari itu, Arana Mahirunisa , atau yang biasa dipanggil Ara, baru saja menghapus salah satu nomor yang ada di kontaknya, bahkan Ara memblokir semua akun sosial media orang tersebut. Ara pikir itu adalah kado yang paling baik yang bisa dia berikan untuk sahabatnya.
Sahabatnya, Alisa, terlihat sangat cantik dengan gaun putih serta mahkota kecil di kepalanya, dan jangan lupakan lesung pipi yang mampu membuat para lelaki jatuh hati dalam sekali tatap. "Selamat ulang tahun, Alisa," ucap Ara sambil mengulurkan tangannya.
Alisa tak membalas jabat tangan tersebut; dia langsung memeluk Ara dengan erat. Dalam pelukannya, Alisa mengucapkan terima kasih kepada Ara. Ara membalas pelukan itu dengan erat dan mengucapkan doa baik untuk sahabatnya hari itu.
Alisa melepaskan pelukan itu, dan dia mengatakan betapa senangnya dia pada hari ulang tahunnya. Dalam perbincangan itu, Alisa juga mengungkapkan kesenangannya karena seseorang yang begitu ia sukai sudah mulai menyukainya juga. Namun, curhatan Alisa hari itu membuat Ara seketika membeku di tempat. Ara berdoa semoga kali ini pun dia bisa menghindarinya agar kesenangan sahabatnya tetap abadi. Di tengah lamunan, Alisa berpamitan sebentar, dia harus menyambut tamu dan teman-temannya yang lain.
Dalam kerumunan itu, rasanya sepi. Dalam terang menderangnya lampu itu, rasanya buram.
Itulah yang Ara rasakan. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, tetapi tetap saja rasanya sesak. Matanya terus berkeliling melihat sekitar, siap menghindar secepat mungkin jika ternyata orang itu ada. Tetapi sepertinya takdir tidak selalu berpihak baik pada Ara, karena kali ini seseorang yang ia hindari justru menghampirinya dengan perlahan.
Dia Aksara, laki-laki yang Ara hindari selama satu minggu itu masih sama. Senyumnya masih sangat manis dan indah, bahkan jika dilihat dari jarak beribu-ribu jauhnya. "Ra," tegur Aksara dengan nada dingin yang sulit diartikan.
"Hai, sudah lama di sini?" sapa Ara dengan senyum manisnya.
Melihat itu, Aksara tersenyum kecil. Tadinya dia mau marah, tetapi marahnya hilang seketika. "Lo sakit apa?" tanya Aksara lembut. Mendengar pertanyaan itu, Ara hanya diam sambil terheran. Ara sudah memblokir semua akun media sosialnya, bahkan nomornya, tapi bagaimana Aksara tahu kalau dia sedang sakit?
"Jangan heran, lo punya hak buat blokir semua akun media sosial gue, tapi gue juga punya hak buat nanya ke Alisa tentang keadaan lo," ujar Aksara, menjawab kebingungan yang terlihat jelas di raut wajah Ara. Setelah itu, Aksara dan Ara sama-sama bungkam. Tapi percayalah, bahwa detak jantung yang berbunyi kencang karena berdebar tidak bisa tidak berisik.
"Besok lo mau anter gue ke toko buku, nggak, Ra?" tanya Aksara memulai kembali percakapan. Sebenarnya Ara ingin sekali menemani Aksara ke toko buku, bukan hanya ke toko buku, kemanapun, Ara ingin dengan Aksara. Tetapi kalimat yang terucap dari Ara justru, "Gue sibuk." Aksara menatap Ara lekat. "Sibuk atau menghindar, Ra?" tanyanya.
Ara tidak menjawab pertanyaan itu, karena Ara tahu Aksara pasti sudah tahu jawabannya. Tanpa bicara apa pun, Ara melangkah pergi. "Sudah biasa, Ra? Menghilang nggak ada kabar?" Teriak Aksara, membuat langkah Ara terhenti. Ara menarik napasnya, lalu berjalan kembali menghampiri Aksara yang masih diam di tempatnya. "Udah biasa, Sa? Udah biasa ngebaperin dua cewek dalam satu waktu bersamaan?" "Gue nggak suka sama Alisa," bantah Aksara.
"Tapi Alisa suka sama lo!" Bentak Ara. Rasanya gadis itu ingin menangis, matanya berkaca-kaca, sedangkan Aksara terdiam, membeku karena pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Ara. "Kalau gue sukanya sama lo gimana?" tanya Aksara pada akhirnya.
"Kita bisa temenan, Sa," ucap Ara.
Aksara membuang wajahnya dari tatapan Ara. Suara tawa kecil terdengar jelas dari laki-laki itu. Matanya juga berlinang, tetapi wajahnya masih kukuh. "Nggak ada cewek sama cowok yang temenan tanpa melibatkan perasaan, Ra, nggak ada!"
"Ada! Kita bakal jadi yang pertama, Sa," sahut Ara, lalu melangkah pergi.
Obrolan singkat di hari itu kembali Ara ingat sebelum tidurnya. Obrolan yang tidak punya titik tengah, obrolan yang hanya pada satu keputusan, obrolan yang membuat Ara dan Aksara asing selamanya. Pernyataan pertemanan di hari itu adalah sebuah kebohongan.


Leave a Comment