ADRI DARMADJI WOKO KONSISTEN BERKARYA SELAMA SETENGAH ABAD

 

Adri Darmadji Woko sudah lebih dari 50 tahun berkarya sebagai penyair Indonesia. Karyanya telah dipublikasikan sejumlah surat kabar nasional. Namanya dikenal sebagai salah satu perintis Komunitas Negeri Poci. Selain berprofesi sebagai jurnalis, Adri juga seorang dokumentator buku.

Saat Sekolah Menengah Atas (SMA) Adri sudah belajar menulis puisi, kemudian menulis artikel di berbagai majalah. Karya sastra miliknya di antara lain, dalam bentuk cerita pendek, esai sastra, artikel, dan puisi. Beberapa buku yang menghimpun puisinya bahkan masuk dalam katalog National Library of Australia.

Penyair yang lahir di Yogyakarta ini juga dikenal sebagai dokumentator buku. Ia menyimpan banyak buku dari berbagai penyair yang ada, seperti buku Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan masih banyak lagi.

Sebagai penyair yang berprofesi wartawan, Adri terlibat dalam dunia pers selama 40 tahun lebih. Bahkan tergabung sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) seumur hidup. Walaupun begitu, Adri lebih dikenal sebagai penyair.

“Teman-teman saya lebih kenal saya sebagai penyair daripada sebagai wartawan,” ujarnya saat berbincang bersama Harian Nevada di Mostly Coffee and Space, Jl. Taufiqurrahman, Kec. Beji, Kota Depok, Selasa (13/6/2023).

Dilanjut dengan Harian Nevada melakukan kunjungan langsung ke rumahnya di Jl. Pondok Tirta Mandala, Kec. Cilodong, Kota Depok, Sabtu (17/6/2023). Harian Nevada mendapat sambutan dan jamuan yang hangat dari beliau. Kunjungan tersebut diisi oleh perbincangan dan melihat secara langsung koleksi buku miliknya.


Ia tak segan-segan mengeluarkan buku-buku koleksinya, tampak bersemangat sekali dalam memperlihatkan puisi karyanya dalam berbagai majalah. Tak hanya itu, Adri juga memberikan tanda tangan dan juga buku puisi karyanya.

Berikut ini, Adri Darmadji Woko menjelaskan serta bercerita kepada Harian Nevada tentang perannya yang terus mengabdi pada dunia sastra. Lebih lagi, profesinya sebagai insan pers dan melihat lebih jauh mengenai ketertarikannya dalam mengoleksi berbagai buku puisi.

 

Tanya: Perjalanan karier Anda dimulai dari umur berapa?

Jawab: Saya itu waktu di SMA sudah membaca majalah sastra, kemudian saya sudah belajar menulis puisi, menulis artikel di majalah Remaja Ria. Saya waktu itu ingin sekali melihat teman bikin majalah ketikan, kok pada bisa ya? Kok saya enggak bisa? Akhirnya saya belajar.

Pada waktunya, puisi saya kirim ke majalah dan dimuat. Tahun berikutnya, saya mulai aktif sampai satu puisi saya dimuat di Harian Sinar Harapan. Wah, itu luar biasa, setiap orang rasanya kenal saya, karena waktu itu jarang, sekarang tiap hari banyak penyair, penulis jarang.

Dulu jadi wartawan juga susah, saya itu loro-loro jadi wartawan, loro-loro itu terseok-seok. Karena saya kan sebelumnya belajar sendiri kemudian saya masuk sekolah tinggi. Saya juga menjadi wartawan tetap pada tahun 80. Dari tahun 73 sampai 80 itu saya menulis saja secara bebas, terus saya akhirnya dapat menjadi wartawan di majalah Kartini.

 

T: Apa inspirasi Anda dalam menulis?

J: Belajar dari buku-buku, saya juga tulis cerpen dulu di majalah, di Harian Sinar Harapan juga ada, di Harian Kompas juga pernah, kemudian di majalah Pertiwi, di majalah Cantika, ada beberapa majalah atau kumpulan cerpen remaja saya ada.

 

T: Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis sastra?

J: Dari dulu saya jalan, jalan itu selalu mendapatkan inspirasi, misalnya bagaimana kita ketemu orang-orang, kemudian kita membuat puisi, merekam apa yang ada di sekitar situ, sehingga jadi puisi.

Itu yang saya lakukan dan banyak hal-hal lain, yang sebenarnya itu dari mengkaji puisi-puisi orang lain. Kalau ini saya banyak berguru pada penyair-penyair senior. Semua sastrawan Indonesia saya baca karya mereka.


T: Apakah ada orang yang jadi inspirasi Anda dalam menulis?

J: Ada semangat dari teman-teman, misalnya saya dulu, sekolah saya di belakang TIM, sehingga saya sering lewat Taman Ismail Marzuki itu dan mulai tahun 72 saya bergaul dengan para seniman, para sutradara. Sampai sekarang tetap saja saya bersaksi terus, bersaksi untuk terus berkesenian.

 

T: Dalam membuat puisi, biasanya Anda ada tema-tema tertentu tidak? Seperti politik, atau lainnya?

J: Bisa dilihat dari buku-buku saya ini. Ini seorang penyair. Kalian bisa tahu nanti kalau membaca. Saya juga belajar puisi-puisi dari luar negeri tapi yang terjemahan.

 

T: Kalau dari puisi luar negeri Anda ada tokoh inspirasinya tidak? J: Allan Poe, kalian baca karya dia ini ada di Google.

 

T: Anda kan sudah lama menulis puisi, ada tidak puisi yang paling berkesan?

J: Enggak ada yang berkesan, yang berkesan ya paling puisi untuk ibu saya, nanti kalau ke rumah saya unjuk.

 

T: Dari puisi yang Anda buat yang membedakan dengan puisi orang lain apa? Ada ciri khasnya?

J: Ciri khasnya berbeda, dalam pengungkapan dan dalam ekspresinya. Misalnya ini ada puisi begini, jangan sampai kita mengekor puisi itu, meniru puisi itu. Tapi coba kita mengubah puisi yang berbeda dengan puisi satu dengan yang lain itu. Sehingga puisi yang kita ekspresikan itu sudah diri kita sendiri, bukan puisi orang lain, kita contek.

T: Bagaimana Anda menilai hubungan antara pengarang dan pembaca dalam puisi? Apakah ada pesan khusus yang ingin disampaikan pada pembaca?

J: Untuk pembaca itu kan kita hanya menyampaikan sesuatu hal saja, yang memberikan amanah dalam puisi itu. Entah itu tentang manusia atau tentang diri kita sendiri, atau tentang suatu tema tertentu yang sekiranya bisa diterima oleh pembacanya. Tapi kan sekarang pembaca puisi atau yang menyukai puisi kan sedikit. Jadi, ya kita tetap berusaha supaya tetap bisa menulis puisi untuk disampaikan kepada pembacanya.

T: Puisi-puisi Anda kan banyak dimuat di media, bagaimana perasaan Anda?

J: Biasa saja. Di rumah enggak ada yang suka puisi, saya tulis sendiri, saya baca sendiri. Mungkin beberapa orang yang baca.


T: Bagaimana ketika puisi-puisi Anda dapat respons yang positif dari masyarakat?

J: Saya enggak yakin pada baca. Ada sedikit, mungkin hanya kenal nama saya saja, tapi enggak pernah baca puisinya. Mereka tahu saja cuman enggak ada respons. Juga enggak menyebabkan saya dikenal. Jadi, penyair ya tulis saja enggak usah berniat jadi orang besar, jadi ternama.

 

T: Bagaimana pandangan Anda terhadap sastra Indonesia saat ini?

J: Sekarang ini makin banyak peminatnya, tapi hanya peminat saja, enggak ada yang menekuni atau yang terus mengabdi pada dunia sastra. Enggak ada. Apalagi yang perempuan itu biasanya enggak. Pada waktu tertentu dia selesai, tapi yang seperti saya ini mengabdi pada dunia sastra dan saya mengamati puisi teman-teman yang lain.

 

T: Buku Poe bercerita tentang apa?

J: Banyak, ini kan macam-macam di sini. Nah, seperti ini, ini kan puisi untuk ibu, untuk ibu di mana saja. Mungkin inspirasi pertama saya dari ibu saya. Waktu itu saya ke Jakarta ibu saya ke Yogyakarta, beberapa tahun kemudian baru bisa bertemu.

 

T: Apa maksud dari judul buku Poe? J: Ini nama penyair, Edgar Allan Poe.

 

T: Mengapa nama Edgar Allan Poe Anda jadikan judul puisi, juga Anda jadikan sampul buku?

J: Karena saya belajar puisinya dari dia. Ini puisi dia yang paling baik “Annabel

Lee”.

 

T: Annabel Lee itu siapa?

J: Perempuan yang dia cintai, tapi enggak kesampaian, akhirnya Annabel Lee itu ada di dasar laut. Jadi, kalau sudah baca tidak hanya sekali tapi berkali-kali agar maknanya sampai dan puisi itu mengena kepada kita.

 

(Buku Cicak-Cicak di Dinding karya Adri Darmadji Woko meraih Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kementerian Pendidikan, dan Kebudayaan Republik Indonesia pada 2015.)


T: Puisi yang judulnya panjang-panjang apa ada maksud tersendiri?

J: Itu maksud saya juga, mengapa judulnya pendek tapi puisinya panjang, sekarang dibalik saja judulnya panjang, puisinya pendek. Dalam judul puisi itu sebenarnya sudah puisinya sendiri, bawahnya itu judul, misalnya seperti itu.

 


 

apa?


T: Apa ada makna tersendiri dari Cicak-Cicak di Dinding? Bercerita tentang

 

 

J: Cicak-cicak saja, di rumah ada cicak ayo bernyanyi. Kita amati saja. Itu mengapa


judulnya Cicak-Cicak di Dinding.

 

T: Beberapa buku yang menghimpun puisi Anda bahkan masuk dalam katalog National Library of Australia? Boleh disebutkan salah satunya apa saja?

J: Buku Boneka Mainan yang terdaftar ada di Perpustakaan Nasional, cover buku digambar oleh pelukis Mustika bareng dengan Khairul Najib teman saya, tidak ada makna gambarnya hanya ilustrasi saja.

T: Ada salah satu buku Anda berjudul Hong, apakah memiliki makna tersendiri?

J: Hong itu lambang dari keabadian, burung Hong itu yang selalu hidup terus.

 

T: Komunitas Negeri Poci berdiri sejak tahun 1993, boleh diceritakan lebih detail awal mula komunitas ini?

J: Komunitas Negeri Poci kami dibentuk tahun 1993, karena kebersamaan teman-teman yang sama suka puisi, penyair Handrawan Nadesul dokter dia, Kurniawan Junaedhie, Piek Ardijanto Soeprijadi itu ada 9 orang, sekarang banyak teman-teman yang ingin dekat dengan Komunitas Negeri Poci, sudah 30 tahun ini.

 

T: Sejak awal apa tujuan komunitas ini dibentuk?

J: Tujuannya untuk menghimpun Komunitas Negeri Poci berdiri di Tegal, komunitas ini kebanyakan bukan orang Tegal, cuma kami aktif di sana. Ada guru kami Namanya Piek Ardijanto Soeprijadi itu seorang guru di SMA Negeri 1 Tegal, dan dia itu penyair nasional, tidak terikat pada tim tapi di luar kota Jakarta.

Bergerak dari daerah, waktu itu Jakarta dengan Tegal. Orang dahulu sebelum menulis di Jakarta belum nasional sebabnya, tapi kita sengaja dari daerah lain untuk menghilangkan


kesan itu. Sekarang kita tinggal di mana saja bisa menulis puisi, bisa juga lewat FB (Facebook), tapi dulu tuh kalo enggak nulis media Jakarta tidak dikenal.

 

T: Bagaimana dan apa saja yang telah dilalui dalam perjalanan Komunitas Negeri Poci?

J: Banyak hal yang dialami, salah satunya mendapat teman-teman yang saling memberi inspirasi kepada kita. Kami merupakan keluarga besar misalnya kontak-kontakan atau saya menunjukkan puisinya, tapi sekarang kalo kita menulis koran tidak ada yang memuat puisi itu.

Ada koran di Jogja yang memuat puisi IKN, Kedaulatan Rakyat, kemudian Suara Merdeka di Semarang, dan Jawa Pos di Surabaya, tapi kan kita enggak tiap hari dapat koran itu. Dulu saya itu setiap hari Minggu muter aja cari koran, begitu juga teman-teman di Padang sana, di Jogja, di Tegal, mengikuti koran di media, sekarang enggak usah ikuti media.

 

Sidebar:

ANTARA BUKU DAN PERS


Motivasi Adri Darmadji Woko menjadi dokumentator buku dikarenakan ingin menyimpan, mengoleksi, dan memiliki perpustakaan karena sejak kecil ia menyukai buku. “Daya beli saya kurang, sampai anak bilang ‘udah pak jangan beli puisi lagi, jangan beli buku lagi’, padahal saya enggak beli buku itu,” kata Adri.

Setiap ada toko buku, dia selalu pergi ke sana. “Dulu Toko Buku Gunung Agung di Jogja tahun 60-an saya suka covernya, saya beli. Buku yang ada di Gunung Agung sekarang saya punya, toko itu berdiri dari tahun 53-an, kemudian terakhir di Kwitang, dan tahun ini toko itu ditutup selamanya dan diambil alih oleh Gramedia,” jelasnya.


Buku yang dikoleksinya terbit mulai dari tahun 50-an. Ia jalan-jalan kemana pun untuk menghampiri toko-toko buku agar dapat mengumpulkan karya-karya lain secara lengkap. Selain itu, dia juga mencari ke pasar loak.

Waktu banjir melanda rumah dan mengenai buku-bukunya, setiap hari pula ia harus membongkar koleksinya tersebut, jika tidak, maka akan dimakan rayap. “Pernah tuh pas banjir keliping koran di lantai, kami tinggal, begitu pulang buku-buku ngambang. Jika banjir, ada buku yang masih bisa diselamatkan dan ada yang harus dibuang,” tuturnya.

Pernah seketika, tiga temannya menawarkan drum box buku untuk dititipkan kepada mereka, pada saat itu beliau hanya bisa ketawa sambil sakit hati. “Kalau saya menyerahkan buku itu kepada orang lain, terus gimana perasaan saya, saya nih bertahun-tahun mengumpulkan dan mengoleksi buku di mana pun saya cari, tiba-tiba mau diambil begitu saja kan,” cakapnya.

Adri sangat totalitas dalam menjaga bukunya. “Saya setiap hari mesti buka buku walaupun baca selintas, bagaimana setiap hari saya ke rumah teman untuk mengambil buku saya, cara merawat buku dengan benar jangan sampai lembab, kalau lembab harus dirawat, karena jika lembab keluar rayap,” lanjutnya.

Keinginan

Keinginan sejak kecil menjadi wartawan membuat Adri menekuni dunia pers, setiap pukul 05.00 ia jalan kaki satu kilometer untuk membaca koran Kedaulatan Rakyat. Pada saat itu, dia menemui orang-orang, seperti wartawan dan pengarang yang dapat menginspirasinya untuk bersedia kepada buku, dunia pers dan dunia sastra.

Adri mengatakan wartawan zaman sekarang dan dahulu berbeda. Saat ini, wartawan menulis hanya asal menulis saja, berbeda dengannya dahulu yang harus belajar bagaimana caranya merumuskan 5W+1H. “Kalau kita lihat orang-orang pers sekarang tidak pernah atau tidak menekuni dunia pers melalui belajar,” ujarnya.

Menerbitkan majalah tidak membuatnya bangga, melainkan ia merasakan hal yang biasa saja pada saat ini. Menurut Adri, bekerja di media massa tidak ada harganya serta kebanggannya. Dulu ia bangga menjadi wartawan, tetapi menjadi wartawan bukan ingin membuat dirinya kaya, tetapi karena hanya ingin belajar menulis saja.


Curriculum Vitae (CV)


 

Nama              : Adri Darmadji Woko

TTL                 : Yogyakarta, 28 Juni 1951

Nama Istri      : Rumata Hutagalung

Nama Anak    : Ruth Niken Oriana (anak pertama)

Agnes Paramita (anak kedua) Ezra Argaputra (anak ketiga)

 

Pendidikan Terakhir:

      Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jakarta

      Lulusan Fakultas Komunikasi Sekolah Tinggi Publisistik/IISIP Jakarta

 

Karier Pers:

      Redaksi majalah Sonata, Puteri Indonesia, Halo, Nona, Pertiwi, Mistik

      Managing Editor majalah Kartini, Panasea, Gelora, Reformasi, Kartika

      Pemimpin Redaksi majalah Cantik dan KenCan

 

Karya Tunggal:

      Boneka Mainan (1978)

      Cicak-Cicak di Dinding (2014)

      Sanghyang Jaran (2017)

      Cadar Fajar (2019)

      Hong (2020)

      Poe (2021)

      Mata Gerimis (2022)


Prestasi:

      Buku Cicak-cicak di Dinding meraih Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2015)

      Buku Cadar Fajar masuk dalam nomine HPI (2019)

      Buku Hong mendapat kriteria buku yang dipujikan HPI (2020)

      Buku Poe mendapat satu dari lima buku puisi terbaik HPI (2021)

 

Karya Kumpulan:

      Darah Biru Kaki Empat (antologi puisi, bersama Syarifuddin A. Ch., 1974)

      Penyair Muda di Depan Forum (antologi puisi, 1976)

      Tonggak 4 (antologi puisi, 1978)

      Puisi ASEAN 4 (antologi puisi, 1978)

      Dari Negeri Poci 1 (antologi puisi, 1993)

      Dari Negeri Poci 2 (antologi puisi, 1994)

      Serayu (antologi puisi, 1995)

      Dari Negeri Poci 3 (antologi puisi, 1996)

      Gong Bolong (antologi puisi, 2008)

      Inilah Saatnya (antologi puisi, 2009)

      Senandoeng Radja Ketjil (antologi puisi 15 penyair, 2010),

      Kitab Radja-Ratoe Alit (antologi puisi alit 50 penyair Indonesia, 2011),

      Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (antologi puisi sosial 51 penyair pilihan, 2012),

      Suara Dari Pinggiran (antologi puisi, 2012)

      Dari Negeri Poci 4: Negeri Abal-Abal (antologi puisi, 2013)

      Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (antologi puisi, 2014)

      Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut (antologi puisi, 2015)

      Memandang Bekasi (antologi puisi, 2015)

      Dari Negeri Poci 7: Negeri Awan (antologi puisi, 2017)

      Rainy Day Banjarbaru (antologi puisi, 2017, 2018, 2019)

      Dari Negeri Poci 8: Negeri Bahari (antologi puisi, 2018)

      Dari Negeri Poci 9: Pesisiran (2019)

      Dari Negeri Poci 10: Rantau (antologi puisi, 2020)

      Kepak Sayap Waktu (antologi puisi, 2020)

      Angin, Ombak, dan Gemuruh Rindu (antologi puisi, 2020)

      Ibuku Surgaku (antologi puisi, 2020)


      Dari Negeri Poci 11: Khatulistiwa (antologi puisi, 2021)

      Neng Ning Nung Nang (antologi puisi, 2021)

      Ombak, Camar, dan Kerinduan (antologi puisi, 2021)

      Mendengar Kembali Suaramu (antologi puisi, 2021)

      121 Purnama (antologi puisi, 2021)

      Air Mata, Mata Air (antologi puisi, 2021)

      Plengkung (antologi puisi, 2021)

      Lelaki di Lautan (antologi puisi, 2021)

      Jejak Puisi Digital (antologi puisi, 2021)

      Hujan Baru Saja Reda (antologi puisi, 2021)

      Jalan Kenangan Ibuku (antologi puisi, 2021)

      Dari Negeri Poci 12: Raja Kelana (antologi puisi, 2022)

      Alam Sejati (antologi puisi, 2022)

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.