Namira Yang Hilang



Sumber Foto : pinterest


Pandemi COVID-19, yang pertama kali muncul di Wuhan pada akhir 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan mengubah kehidupan miliaran orang dalam sekejap. Virus ini memaksa negara-negara untuk mengambil langkah drastis guna mengurangi penyebaran, seperti pembatasan sosial, penutupan sekolah, dan lockdown berkepanjangan.

Semua kebiasaan yang sebelumnya dianggap normal—berkumpul bersama teman-teman, menghadiri sekolah, pergi bekerja, hingga beraktivitas di luar rumah—tiba-tiba berhenti. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 4,5 juta orang meninggal akibat COVID-19 di seluruh dunia pada pertengahan 2021.

Di Indonesia, dampak pandemi COVID-19 mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kemudian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat ruang gerak masyarakat semakin terbatas. Bagi sebagian orang, khususnya remaja, kondisi ini menghadirkan tantangan besar.

Penutupan sekolah menyebabkan lebih dari 60 juta pelajar di Indonesia harus belajar dari rumah, menggunakan platform daring yang belum sepenuhnya mereka kuasai. Data dari UNICEF pada 2020 menunjukkan bahwa pandemi ini memicu peningkatan masalah kesehatan mental pada anak-anak dan remaja, dengan sekitar 50% dari mereka melaporkan merasa cemas, tertekan, dan kesepian karena isolasi sosial.

Dalam situasi seperti ini, banyak remaja yang merasa terjebak dalam rumah mereka sendiri, kehilangan kontak dengan dunia luar. Hidup yang biasanya diisi dengan interaksi sosial yang bising dan dinamis, kini berganti dengan kesunyian yang mendalam. Media sosial dan perangkat digital menjadi satu-satunya penghubung mereka dengan dunia luar.

Pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 mencapai puncaknya, Namira, seperti banyak remaja lainnya, mulai merasakan kebosanan yang luar biasa. Di pertengahan tahun tersebut, dengan kebijakan lockdown yang terus diperpanjang dan sekolah yang masih berlangsung secara daring, ia terjebak di dalam rutinitas yang monoton.

Namira mulai mengalihkan perhatiannya ke media sosial. Twitter, TikTok, Instagram, dan berbagai platform lain menjadi teman setianya dalam menghabiskan waktu. Ia mencoba hampir semua hal yang ditawarkan di internet—mulai dari mengikuti tantangan-tantangan viral di TikTok, hingga membaca opini-opini di Twitter dan menggulir feed Instagram tanpa henti.

Karena akses internet yang tidak terbatas selama masa pandemi, Namira mulai menjelajahi berbagai konten yang sebelumnya tidak pernah ia perhatikan, termasuk dunia perfilman LGBT. Pada awalnya, Namira hanya diliputi rasa penasaran. Film-film bertema LGBT yang ia temukan di platform streaming dan video pendek di media sosial tampak menarik baginya.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa penasaran itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Semakin sering ia menonton, semakin ia merasa terhubung dengan cerita-cerita yang ia lihat. Film-film ini mulai mempengaruhi perasaannya, membuat Namira merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami. Alih-alih merasa aneh atau terasing, ia justru mulai merasa nyaman dengan apa yang ia tonton.

Pada akhirnya, rasa nyaman yang awalnya muncul dari sekadar menonton film berubah menjadi bagian dari identitas Namira. Ia mulai merasakan ketertarikan terhadap sesama jenis, sebuah perasaan yang semakin tumbuh seiring dengan intensitasnya mengeksplorasi dunia LGBT melalui film dan media sosial. Pengalaman menonton film-film bertema LGBT tidak hanya menjadi hiburan bagi Namira, tetapi juga menjadi cerminan dari apa yang ia rasakan di dalam dirinya.

Namira mulai lebih aktif di dunia maya. Ia membuat akun Twitter khusus untuk menjelajahi lebih dalam dunia LGBT, berinteraksi dengan berbagai komunitas yang memperjuangkan hak dan identitas mereka. Melalui akun tersebut, Namira menemukan bahwa ia bukan satu-satunya yang merasakan kebingungan, keraguan, dan pencarian jati diri di tengah pandemi.

Pertemanan dan interaksi di dunia maya ini semakin memperdalam keterlibatan Namira dalam komunitas tersebut. Tidak hanya sebatas mengonsumsi konten, ia mulai membentuk hubungan yang lebih intim secara virtual dengan sesama jenis.

Hubungan-hubungan ini awalnya hanya sebatas percakapan ringan, tetapi seiring waktu berkembang menjadi hubungan emosional yang lebih dalam. Namira, yang merasa terisolasi di dunia nyata, menemukan pelarian dan penerimaan di dunia digital, bahkan menjalin hubungan virtual dengan orang yang memiliki perasaan yang sama dengannya..

"Kenapa kamu nggak pernah keluar kamar lagi? Teman-temanmu nggak ada yang kontak kamu?"

Namira terdiam sejenak, merasa berat untuk menjawab. "Males, Ma. Lagi nggak pengen ngobrol sma siapa-siapa," sahutnya akhirnya.

Ibunya masuk dan duduk di tepi ranjang. "Mama cuma khawatir. Kamu sering banget sendirian. Kalau kamu butuh cerita, Mama selalu di sini."

Namira hanya tersenyum tipis, lalu memalingkan wajahnya kembali ke ponsel. Dalam hatinya, ia ingin bercerita, ingin mengungkapkan kebingungan yang ia rasakan. Tetapi, ada sesuatu yang menahannya. Rasa takut. Takut dihakimi. Takut ibunya tidak akan mengerti. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaan yang baru saja ia sadari—bahwa ia merasa tertarik pada sesama jenis? Ia belum siap.

Seiring berjalannya waktu, ibu dan ayah Namira mulai merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri putri mereka. Perubahan itu tampak halus, namun cukup nyata untuk membuat mereka bertanya-tanya. Mereka sering mendengar Namira berbicara di telepon dengan seorang perempuan dalam waktu yang lama. Awalnya, kedua orang tua Namira tidak merasa ada yang aneh—mereka berpikir itu hanyalah pertemanan dekat antara dua gadis.

Namun, pada suatu malam, ayah Namira mendengar sesuatu yang membuatnya terkejut. Saat Namira sedang menelepon, ayahnya secara tidak sengaja mendengar sepenggal percakapan yang berbeda dari biasanya. Dalam percakapan itu, Namira dengan penuh emosi mengatakan, "Aku mencintaimu, Anjel. Aku lelah, aku ingin menikah denganmu." Mendengar kata-kata itu membuat ayahnya terdiam.

 Dengan perasaan yang campur aduk—antara cemas, marah, dan bingung—mereka memanggil Namira dan menanyakan langsung tentang hubungannya dengan Anjel. Alih-alih mendekati dengan hati-hati, mereka langsung memarahi Namira habis-habisan, mengekspresikan kekecewaan dan ketakutan mereka akan tindakan yang menurut mereka tidak dapat diterima.

Namira, yang awalnya merasa takut ketika dipanggil, justru semakin marah ketika orang tuanya mulai menghujaninya dengan kemarahan. Ia merasa dihakimi, disalahkan, dan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan perasaannya.

Setiap kata yang ia ucapkan untuk membela diri tidak didengar—hanya teriakan dan kecaman yang terus dilontarkan kepadanya. Perasaan tertekan yang ia rasakan selama masa isolasi semakin memuncak dengan penolakan dari orang tuanya.

Dalam kemarahannya, Namira merasa orang tuanya tidak memahami apa yang ia alami. Baginya, cinta yang ia rasakan bukanlah sesuatu yang salah, namun orang tuanya memperlakukannya seolah-olah ia telah melakukan kesalahan besar. Rasa frustrasi dan kesepian yang sudah ia rasakan sejak awal pandemi kini bertambah dengan rasa tidak diterima di rumahnya sendiri.

Karena perasaan marah dan tersakiti yang semakin memuncak, Namira memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ia mengemas pakaiannya ke dalam koper kecil, membawa serta uang tabungannya yang dikumpulkan selama pandemi.

Saat Namira hendak pergi, ayahnya, yang sudah tak mampu lagi menahan emosinya, menampar putrinya dengan harapan bisa menyadarkan Namira. Namun, tamparan itu justru semakin memperkuat tekad Namira. Ia merasa semakin jauh dari keluarganya, semakin yakin bahwa mereka tidak mengerti perasaannya.

Sementara itu, ibunya menangis tersedu-sedu, memohon agar Namira tidak pergi dan mau mempertimbangkan untuk dibawa ke psikolog. Ibu Namira berharap ini bisa menjadi cara untuk mengatasi konflik yang kian membesar. Namun, Namira tidak lagi ingin mendengar apapun. Cintanya pada Anjel sudah mutlak, dan dalam pikirannya, tidak ada yang bisa mengubah keputusan yang ia buat.

Pada hari itu, di bulan Desember tahun 2021, Namira meninggalkan rumahnya. Ia keluar dari pintu dengan perasaan campur aduk—antara kemarahan, kebingungan, dan keyakinan atas cintanya pada Anjel. Ia tidak tahu apa yang menantinya di luar sana, tetapi Namira merasa perlu menemukan kebebasan dan tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa dihakimi.

"Itu terakhir kali saya melihat dia," ujar Irman, ayah Namira, dengan suara berat. "Terakhir yang saya tahu, dia pergi ke luar negeri. Setelah itu, saya tidak pernah lagi mendengar kabarnya." Matanya tampak penuh dengan kesedihan dan rasa penyesalan yang mendalam. Setiap kata yang ia ucapkan seolah mengingatkan kembali betapa beratnya kehilangan putrinya.

Mira, ibunya, juga mengungkapkan perasaannya. "Kami sudah mengikhlaskan Namira," katanya dengan air mata yang tertahan. "Kami hanya bisa berdoa agar dia diberi kesadaran dan kembali ke jalan yang benar." Meskipun hatinya hancur, Mira berusaha menerima kenyataan bahwa mereka tidak lagi bisa mengontrol hidup putrinya.

Irman dan Mira memajang foto Namira di dinding rumah mereka, tepat di samping kalender yang bertuliskan tahun 2024. Setiap kali mereka melewati foto itu, mereka diingatkan bahwa sudah tiga tahun berlalu sejak kepergian putri mereka. Foto itu memperlihatkan Namira yang tersenyum bahagia, sebuah kenangan dari masa ketika segalanya masih terasa utuh dan penuh harapan.

“kita tidak lagi berharap untuk melihat Namira pulang. Sekarang, harapan kita hanya satu:, semoga Tuhan mengampuni kita yang lalai dalam mendidiknya." Ujar Irman dengan bersama segelas kopi hitam.

  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.