60 Menit Acha



Sumber Foto : Pinterest

     Aku memejamkan mataku, berharap waktu bergerak lebih lambat. Aku berjanji pada diri sendiri bahwa apapun yang akan terjadi, aku akan bicara sejujurnya kepada Artur. Aku berharap Artur datang lebih cepat, karena jadwal penerbanganku tinggal 60 menit lagi.

     Artur resmi menjadi sahabatku sejak kami duduk di bangku 1 SMP, dia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Sedih rasanya karena aku harus pergi ke Amerika untuk melanjutkan S2-ku. Sejujurnya, aku masih sangat betah berada di Indonesia, bersama Artur.

    Dari jauh, aku melihat Artur datang dengan berlari kecil. Rambutnya sedikit basah karena keringat, dan tidak lupa kemejanya yang sudah sangat berantakan. Artur menghampiriku dengan senyum khasnya, lesung pipi sebagai pelengkap.

    "Maaf gue telat," itu kalimat pertama yang Artur katakan ketika berada tepat di hadapanku. "Ya, kapan sih kamu bisa tepat waktu!" omelku. Artur hanya tersenyum kecil mendengarnya. "Maaf, tadi gue habis dari rumah sakit, Bella sempat kritis lagi," ucap Artur dengan mata sendu. Dapat aku lihat dengan jelas kekhawatiran Artur terhadap Bella, pacarnya.

    "Kalau Bella lagi kritis, kenapa kamu datang ke sini! Harusnya kamu kabari aku aja, Tur, aku bakal ngerti kok." Artur menatapku, dia mengedipkan sebelah matanya. "Mana mungkin, Cha, gue melewatkan detik-detik terakhir ngelihat lo di Indonesia," jawabnya, lagi-lagi dengan senyum yang menampilkan lesung pipi khasnya. "Lagipula, katanya ada yang mau lo omongin kan sama gue?"

    Ah, sial! Aku mengutuk diriku sendiri. Beberapa detik lalu, aku berpikir bahwa aku bisa mengatakan kejujuran itu, tapi saat Artur berada tepat di hadapanku, membuat aku tak bisa berkata-kata. Tapi aku tidak bisa diam lagi, Artur harus tahu bahwa namanyalah yang setiap malam kusebut dalam doa. Tiba-tiba sebulir air mata tanpa aba-aba jatuh membasahi pipi. Aku menundukkan kepalaku merasakan sesak di hati, karena aku harus seegois ini, hari ini.

    "Caaa... kenapa lo nangis?" tanya Artur sedikit khawatir, dia memegang erat kedua bahuku. "Kita kan nanti masih bisa teleponan, Ca. Gue janji bakal main ke Amerika nanti sama Bella, kalau Bella sudah sembuh," katanya, membuat aku semakin sesak. "Aku nangis bukan karena itu kok, Tur," jawabku lirih. "Terus karena apa, Ca?" Bisa dilihat dari mata Artur bahwa dia benar-benar khawatir. "Aku nangis karena aku kecewa, Tur, sama diri sendiri."

    Artur menatapku lagi, kali ini matanya benar-benar menatapku lekat, seakan mata itu mencari-cari alasan kenapa aku menangis. "Ada apa, Ca?" tanya Artur lembut.

    Aku melepaskan kedua tangan Artur dari bahuku, dengan cepat aku menghapus air mataku dan tersenyum. "Aku sayang kamu, Tur," kataku. Artur tersenyum lalu tertawa kecil. "Gue juga sayang sama lo, Cha," katanya.

    Aku tersenyum kecut. Rupanya Artur tidak paham bahwa rasa sayang yang aku punya lebih dari rasa sayang seorang teman. Lebih dari rasa sayang seorang sahabat. "Aku kecewa, Tur, sama diri sendiri, sebab aku sudah jatuh cinta sama sahabatku sendiri. Aku sayang sama kamu, Artur." Aku menarik napas panjang. Lega rasanya mengungkapkan isi hati yang sudah 8 tahun lamanya dipendam sendirian, tanpa ada siapapun yang tahu.

    Aku menatap Artur, tatapan mata yang tadinya begitu teduh dan lembut kini sudah berubah. Tatapan mata itu kini sulit sekali untuk diartikan olehku. Mungkin, itu tatapan kecewa. Beberapa detik telah berlalu dengan Artur yang hanya diam saja. "Artur, maaf." Sial, aku benar-benar merasa bersalah sekarang. "Kenapa baru sekarang, Ca?" tanyanya tenang.

    Aku tersenyum, membalikkan badanku agar membelakanginya, sebab bila kutatap mata itu lebih lama, aku tidak akan mampu. "Sudah lama. Mungkin sejak kamu nolongin aku pas aku jatuh dari pohon mangga waktu kita kelas 1 SMP. Mungkin juga, sejak aku lihat kamu di aula pas pertama masuk sekolah. Mungkin pula sejak kamu sering antar jemput aku ke kampus. Aku nggak tahu sejak kapan, tapi yang aku tahu, setiap hari aku jatuh cinta sama kamu," ucapku, menepati janji pada diri sendiri untuk berkata sejujur mungkin hari ini.

    "Cha, lo tau kan gue ada Bella? Lo tau kan Bella lagi berjuang hidup di rumah sakit? Lo tau kan gue sayang sama Bella? " Andai bisa, aku ingin Tuhan membuatku berhenti bernapas detik ini juga. Aku benar-benar merasa sesak, aku rasanya tidak mendapat udara sama sekali. Sejak aku berteman dengan Artur, baru kali ini kulihat tatap matanya yang begitu kebingungan, begitu marah, begitu kecewa.

    "Kenapa bisa, Cha? Kenapa harus gue, Cha? Kenapa?" Artur mengeruk rambutnya frustasi, dapat aku lihat air mata di pinggir bawah matanya. Air mata itu tidak jatuh ke pipi, dia setia membendung di sana. "Kalau kamu tanya kenapa harus kamu, aku nggak punya jawaban, Tur. Tapi kalau kamu tanya kenapa bisa kamu? Jawabannya sama, Tur, sama kayak kenapa kamu jatuh cinta ke Bella."

    "Terus mau kamu sekarang apa, Cha?" tanyanya dingin, singkat, jelas. "Jawab. Seberapa sayang kamu ke Bella?" Artur menarik napasnya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Mungkin Artur merasa dirinya dikhianati, mungkin Artur merasa bahwa Acha yang berada tepat dihadapannya bukanlah Acha sahabatnya.

    "Lebih dari rasa sayang gue ke lo, Cha." Aku tersenyum getir. Aku tahu hal itu. Aku tahu bahwa hati Artur sepenuhnya milik Bella. Gadis yang Artur temui di kelas 1 SMA. Bella Anatasya, gadis dengan rambut cokelat, kulit putih, dan pipi tirus, membuat Bella begitu sangat cantik di mata kaum adam, terutama di mata Artur.

    Aku melirik jam tanganku, tinggal 2 menit tersisa sebelum pesawatku lepas landas. Lalu aku menggenggam kedua tangan Artur, lalu kutatap mata itu. "Kalau memang begitu, jaga Bella, Tur. Aku ungkapin perasaan ini buat ngeyakinin diri aku. Aku mau pergi jauh dari Indonesia, aku nggak mau di sana aku punya beban. Aku mau sebelum mulai yang baru, yang lama sudah aku pastikan selesai," kataku lembut, tenang. "Kamu pergi bukan karena aku kan, Cha?" Aku tertawa kecil sambil mengacak rambutnya pelan.

    "Percaya, Tur, apapun jawaban kamu tadi, mau kamu suka atau nggak sama aku, aku tetap akan pergi, Tur, karena aku tahu Bella lebih butuh kamu." Aku menarik napasku, sudah selesai, sesak yang aku pendam selama bertahun-tahun kini sudah bebas. Aku merasa bahwa aku menemukan diriku yang baru, diriku yang tidak akan pernah bertanya-tanya lagi tentang 'apakah Artur juga punya perasaan lebih sama aku?'

    "Artur, aku berangkat ya, titip salam buat Bella dan ibumu. Kalau nanti kalian menikah, jangan undang aku, Tur. Maaf bukannya belum ikhlas, tapi aku takut, aku takut aku nggak bisa maafin diri sendiri karena pernah suka sama kamu. Kalaupun nanti aku sudah bisa damai sama diriku sendiri, aku yang akan datangi kamu dan Bella. Aku janji." Artur menganggukkan kepalanya lalu memelukku sekilas. "Jaga diri di sana ya, Cha," katanya di tengah-tengah pelukan.


Beginilah seharusnya cinta serta sayang  

Entah telah berapa kali, ku lihat wajah itu di wajah orang lain  

Keputusan memang selalu punya sebab-akibat  

Berbahagialah aku, karena wajah itu tahu tempat berlabuh  

Tak kurang satu apapun  


Beginilah pembalasan dendam, seperti manusia pada umumnya  

Telah terkonsepsi dengan jelas, tetapi tetap dilakukan  

Begitu juga aku yang terus meninggalkan orang-orang baik  


Senang kupikir, melihatmu senang  

Jadi kutetapkan perasaan juga dengan senang  

Tak kurang satu apapun  


Cinta, gagas, serta cita-cita memang butuh pendamping  

Sehingga kehadiranmu untuknya  

Begitu dibutuhkan.  


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.