Terima Kasi Sudah Menjagaku Kak
Betapa besar rasa syukur yang membuncah dalam
hatiku saat kutatap sosok saudara laki-lakiku, anugerah yang Tuhan limpahkan
kepadaku. Dalam perjalanan hidup ini, Kakak menjadi tumpuan teguh bagiku,
sebuah tiang yang kokoh ketika badai menghantam. Kakak adalah cermin kearifan
yang kutatap dengan penuh kagum. Setiap kata yang terucap dari bibirnya adalah
harta karun pengetahuan yang tak ternilai, sebuah bimbingan yang membimbing
langkahku melalui lorong-lorong kehidupan yang tak terduga. Namun yang paling memesonakan
aku adalah kasih sayang yang tak pernah luntur.
Ibuku bilang waktu aku lahir ke dunia kakakku
sangat senang. Ibuku menceritakan sebuah insiden lucu ketika usiaku baru
menginjak tiga minggu. Saat itu, ibu harus meninggalkanku sejenak untuk
menyelesaikan urusan rumah tangga, aku dititipkan pada kakakku yang tengah
menikmati ayam goreng. Ketika ibu kembali, kakakku dengan penuh kebaikan hati sedang
memberiku suapan ayam goreng kepadaku. Ketika ditanya oleh ibuku tentang alasan
di balik tindakannya, kakakku dengan polosnya menjawab bahwa kakak merasa
kasihan melihatku diam saja seperti orang kelaparan. Mendengar cerita ibu, aku
tertawa kencang.
Kakakku
sering mengajakku untuk berdiskusi dan mengobrol. Kakak mengatakan, tidak ingin
aku merasa kesepian, seperti yang kakak rasakan di masa lalu. Ini membuatku
terhanyut dalam lamunan tentang bagaimana sedihnya kakak saat tidak punya teman
bicara. Aku berpikir, saat kakakku membutuhkan seseorang untuk berbagi dan
mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala, kepada siapa kakakku
mencari jawaban? dan saat kakak membutuhkan pertolongan, kemana kakak akan
pergi ?
Ibu
dan ayah sibuk berkerja saat aku dan kakakku masih kecil, berkerja untuk
memenuhi biaya hidup sehari – hari. Waktu sekolah dasar, kakak pernah di runduk
oleh teman sekalasnya, karena tidak punya uang jajan, Kakak menceritakannya itu
padaku. Kakak juga bilang kalau selalu mendapatkan apapun yang diinginkan
melalui usaha, karena saat kecil kakak tidak punya tempat untuk diandalkan
selain usaha dirinya sendiri.
Mungkin
karena itu, kakakku jadi sosok yang sungguh memukau bagiku. Kakak bukan hanya
seorang yang teguh pendirian, tapi juga memiliki prinsip-prinsip hidup. Melalui
setiap langkahnya, kakak mengajarkan bahwa yang paling penting dalam sebuah
pencapaian bukanlah hasil, melainkan peroses dan keinginan untuk berusaha. “
untuk dapat hasil yang baik butuh proses yang baik pula” begitulah kata
kakakku.
Tapi hubungan persaudaraan
tidak selalu berjalan mulus. Kakakku, seperti manusia lainnya, terkadang bisa
menjadi pribadi yang menyebalkan. Kakak menghalangi keinginanku untuk menikmati
hidangan mi instan rasa soto ayam, yang begitu kusuka. Dan tidak hanya itu,
kakak juga melarangku tidur larut malam, tidak boleh minum es, dan masih banyak
lagi.
larangan
hanyalah angin sepoi-sepoi yang mencoba merintangi langkahku. Terutama ketika
datang dari kakakku, yang selalu merasa memiliki alasan untuk melarangku.
Setiap Malam aku punya misi rahasia. Aku tidak pernah tidur tepat waktu, bahkan
hingga larut malam. Ketika semua orang dalam rumah telah hening dan lampu sudah
padam, aku menyelinap ke dapur dan memanjakan diri dengan mi instan yang gurih
dan hangat. Dan jangan lupakan segelas es dingin, dimana setiap tegukan adalah
kemenangan yang manis, bukti bahwa larangan-larangan itu hanyalah rintangan
yang bisa kuhancurkan.
Aku ingin membuktikan
pada kakakku bahwa larangan hanyalah selembar kertas tipis yang bisa
kuhancurkan dengan keberanian dan keteguhan hati. Dan dalam setiap larangan
yang kubiarkan terinjak-injak, aku menemukan kebebasan yang menggelora, membara
dalam keinginanku untuk membuktikan bahwa aku bisa, bahwa aku mampu, bahkan
jika larangan itu dari dirinya.
Itu terus aku lakukan
hingga aku jatuh sakit. Aku sakit demam berdarah karena kurangnya stamina dam
makanan yang ternyata terkontaminasi bakteri. Hampir satu bulan aku terbaring
diruang ICU rumah sakit, hari-hari itu berlangsung dalam kegelapan. Meskipun
tidak sadarkan diri, aku masih bisa merasakan tangis-tangis di sekelilingku,
terutama suara ibu, ayah, dan kakak memanggil namaku. Aku bisa mendengar dan merasakan
genggaman lembut di jari-jariku. Namun, tubuhku tak berdaya.
Setalah aku sadar, hal
pertama kali yang aku liat adalah keluargaku. Mereka menatap dan memanggil
namaku lembut, tapi aku tidak bisa menjawab, bibirku rasanya seperti tidak bisa
bicara. Terlalu lama berbaring di ruang ICU menyebabkan aku tidak dapat bicara, ataupun
berjalan, tubuhku sangat lemas. Aku hanya bisa mengedipkan mataku dan menangis
sepanjang hari.
Dalam sakitku, kakakku setia mendampingiku, Kakak mengajakku bicara walau aku tidak bisa menjawabnya. Karena dirawat dengan penuh cinta oleh keluargaku, aku akhirnya diizinkan pulang ke rumah walaupun harus melakukan rawat jalan karena ternyata aku juga mengalami disartria, yaitu gangguan motorik kerusakan pada saraf yang menyebabkan otot-otot yang memproduksi ucapan menjadi lumpuh. Dan kata dokter aku tidak bisa disembuhkan.
Meskipun begitu, keluargaku tidak pernah menyerah. Kakakku selalu mengajakku berlatih bicara, memperkenalkanku pada huruf vokal a,i,u,e,o. Kakak membacakan buku cerita kepadaku, cerita yang mampu kubaca dalam hati namun sulit kusuarakan. Bahkan, kakak melatihku untuk berjalan seperti bayi. Kakakku selalu menuntunku, dan setiap langkah keberhasilan yang aku peroleh disambut dengan tepukan tangan yang riuh.
Selama aku terbaring
sakit, rasa bersalah melingkupiku seperti kabut tebal. Setiap hembusan napasku
terasa dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam. Rasanya seperti beban yang
terus-menerus menekan dadaku, mengingatkanku pada kesalahan besar yang telah kulakukan.
Kakakku, sosok yang selalu ada untukku, sudah berkali-kali memperingatkanku
untuk menjaga kesehatanku. Namun, aku terlalu keras kepala untuk mendengarkan.
Aku mengabaikan larangan-larangan itu, seolah pikiranku tertutup rapat oleh
keinginan egoisku sendiri.
Melihat kakakku dengan
penuh kasih sayang dan kebaikan hati merawatku dalam keadaanku yang rapuh ini,
membuatku merasa tak berdaya. Aku menyaksikan bagaimana kakak dengan sabar
mengurusiku, memberikan obat-obatan, menyiapkan makanan, dan bahkan menghiburku
saat aku merasa putus asa. Setiap tindakannya itu seperti pukulan telak yang
menghantam hatiku, mengingatkanku betapa kakak menyayangiku.
Yang membuatku semakin
terguncang adalah ketidakmampuanku untuk menerima hukuman yang seharusnya
kutanggung. Tak seorang pun memarahiku meskipun aku tahu benar bahwa sakit ini
adalah akibat dari keegoisanku sendiri. Aku mengabaikan nasihat baik yang telah
diberikan oleh kakak yang peduli padaku. Dan sekarang, aku harus menanggung
konsekuensi.
Kegelisahan dan kegalauan
merayapi pikiranku, menciptakan kekacauan yang tak tertahankan di dalam diriku.
Aku berharap bisa kembali ke waktu dan merubah segala kesalahan yang pernah
kulakukan. Namun, aku tahu bahwa itu hanya angan belaka. Yang bisa kulakukan
sekarang hanyalah belajar dari kesalahan dan berjanji pada diriku sendiri bahwa
aku tidak akan mengulanginya lagi di masa depan.
Ternyata, waktu memberi
kesempatan untukku memperbaiki kesalahanku. Setelah lima bulan lamanya,
akhirnya aku bisa kembali bicara. Perkembangan pesat terjadi pada kesehatanku
saat aku mampu berjalan dan berdiri kembali. Saat kakakku melihatku pertama
kali berjalan, bukan hanya kegembiraan yang terpancar dari reaksinya, tapi air
matanya turun. Lalu, kakak memelukku erat sekali, Pelukan itu terasa hangat,
memenuhi hatiku dengan rasa syukur dan kebahagiaan yang tak terkira. Di dalam
pelukan hangat kakakku, aku merasakan betapa besar kasih sayang yang telah
dilimpahkan padaku.
Selama masa pemulihan ini, aku memahami
betapa pentingnya menerima saran dan nasihat dari orang-orang yang peduli,
terutama dari kakakku. bagaimana egoisme dan ketidakpatuhan terhadap larangan bukan
hanya merugikan diriku sendiri tetapi juga membuat banyak orang bersedih. Di
balik larangan-larangan yang diberikan oleh kakakku, sebenarnya tersembunyi
sebuah cermin kepedulian dan kekhawatiran yang mendalam. Meskipun pada awalnya
aku melihat larangan-larangan itu sebagai hambatan yang mengganggu keinginan
dan kebebasanku, aku mulai memahami bahwa larangan itu bertujuan untuk
melindungiku.
Saat kakakku melarangku menikmati mi
instan favoritku atau larut malam di ruang dapur, pada dasarnya kakak berusaha
melindungiku dari bahaya dan risiko yang mungkin terjadi. Kakak peduli akan
kesehatanku, bahkan ketika aku sendiri tidak menyadarinya. Melalui
larangan-larangan itu, kakakku ingin menjagaku.
Mungkin
ke depannya aku akan melakukan banyak kesalahan lagi, tapi dari hal ini aku
akan belajar untuk lebih menghormati. Terima kasih kakak atas kasih sayang dan
cinta yang telah dicurahkan kepadaku. Aku menghargai setiap momen di mana kakak
tetap bersamaku, bahkan ketika aku tersandung dalam kesalahanku sendiri. Aku
berjanji untuk terus memperbaiki diri, dan menjaga diriku. Terima kasih atas
segala larangan-larangan dan atas setiap perhatian kakak yang begitu hangat.
Semoga kakak dan aku diberi umur panjang, sehingga bisa bersaudara lebih lama.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel ini juga diterbitkan di sini:
Terima Kasih Sudah Menjagaku Kak | Klik Warta
Leave a Comment