Terima Kasi Sudah Menjagaku Kak




                                                                Sumber Foto : pinterest


Betapa besar rasa syukur yang membuncah dalam hatiku saat kutatap sosok saudara laki-lakiku, anugerah yang Tuhan limpahkan kepadaku. Dalam perjalanan hidup ini, Kakak menjadi tumpuan teguh bagiku, sebuah tiang yang kokoh ketika badai menghantam. Kakak adalah cermin kearifan yang kutatap dengan penuh kagum. Setiap kata yang terucap dari bibirnya adalah harta karun pengetahuan yang tak ternilai, sebuah bimbingan yang membimbing langkahku melalui lorong-lorong kehidupan yang tak terduga. Namun yang paling memesonakan aku adalah kasih sayang yang tak pernah luntur.

Ibuku bilang waktu aku lahir ke dunia kakakku sangat senang. Ibuku menceritakan sebuah insiden lucu ketika usiaku baru menginjak tiga minggu. Saat itu, ibu harus meninggalkanku sejenak untuk menyelesaikan urusan rumah tangga, aku dititipkan pada kakakku yang tengah menikmati ayam goreng. Ketika ibu kembali, kakakku dengan penuh kebaikan hati sedang memberiku suapan ayam goreng kepadaku. Ketika ditanya oleh ibuku tentang alasan di balik tindakannya, kakakku dengan polosnya menjawab bahwa kakak merasa kasihan melihatku diam saja seperti orang kelaparan. Mendengar cerita ibu, aku tertawa kencang.

Kakakku sering mengajakku untuk berdiskusi dan mengobrol. Kakak mengatakan, tidak ingin aku merasa kesepian, seperti yang kakak rasakan di masa lalu. Ini membuatku terhanyut dalam lamunan tentang bagaimana sedihnya kakak saat tidak punya teman bicara. Aku berpikir, saat kakakku membutuhkan seseorang untuk berbagi dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala, kepada siapa kakakku mencari jawaban? dan saat kakak membutuhkan pertolongan, kemana kakak akan pergi ?

Ibu dan ayah sibuk berkerja saat aku dan kakakku masih kecil, berkerja untuk memenuhi biaya hidup sehari – hari. Waktu sekolah dasar, kakak pernah di runduk oleh teman sekalasnya, karena tidak punya uang jajan, Kakak menceritakannya itu padaku. Kakak juga bilang kalau selalu mendapatkan apapun yang diinginkan melalui usaha, karena saat kecil kakak tidak punya tempat untuk diandalkan selain usaha dirinya sendiri.

Mungkin karena itu, kakakku jadi sosok yang sungguh memukau bagiku. Kakak bukan hanya seorang yang teguh pendirian, tapi juga memiliki prinsip-prinsip hidup. Melalui setiap langkahnya, kakak mengajarkan bahwa yang paling penting dalam sebuah pencapaian bukanlah hasil, melainkan peroses dan keinginan untuk berusaha. “ untuk dapat hasil yang baik butuh proses yang baik pula” begitulah kata kakakku.

Tapi hubungan persaudaraan tidak selalu berjalan mulus. Kakakku, seperti manusia lainnya, terkadang bisa menjadi pribadi yang menyebalkan. Kakak menghalangi keinginanku untuk menikmati hidangan mi instan rasa soto ayam, yang begitu kusuka. Dan tidak hanya itu, kakak juga melarangku tidur larut malam, tidak boleh minum es, dan masih banyak lagi.

larangan hanyalah angin sepoi-sepoi yang mencoba merintangi langkahku. Terutama ketika datang dari kakakku, yang selalu merasa memiliki alasan untuk melarangku. Setiap Malam aku punya misi rahasia. Aku tidak pernah tidur tepat waktu, bahkan hingga larut malam. Ketika semua orang dalam rumah telah hening dan lampu sudah padam, aku menyelinap ke dapur dan memanjakan diri dengan mi instan yang gurih dan hangat. Dan jangan lupakan segelas es dingin, dimana setiap tegukan adalah kemenangan yang manis, bukti bahwa larangan-larangan itu hanyalah rintangan yang bisa kuhancurkan.

Aku ingin membuktikan pada kakakku bahwa larangan hanyalah selembar kertas tipis yang bisa kuhancurkan dengan keberanian dan keteguhan hati. Dan dalam setiap larangan yang kubiarkan terinjak-injak, aku menemukan kebebasan yang menggelora, membara dalam keinginanku untuk membuktikan bahwa aku bisa, bahwa aku mampu, bahkan jika larangan itu dari dirinya.

Itu terus aku lakukan hingga aku jatuh sakit. Aku sakit demam berdarah karena kurangnya stamina dam makanan yang ternyata terkontaminasi bakteri. Hampir satu bulan aku terbaring diruang ICU rumah sakit, hari-hari itu berlangsung dalam kegelapan. Meskipun tidak sadarkan diri, aku masih bisa merasakan tangis-tangis di sekelilingku, terutama suara ibu, ayah, dan kakak memanggil namaku. Aku bisa mendengar dan merasakan genggaman lembut di jari-jariku. Namun, tubuhku tak berdaya.

Setalah aku sadar, hal pertama kali yang aku liat adalah keluargaku. Mereka menatap dan memanggil namaku lembut, tapi aku tidak bisa menjawab, bibirku rasanya seperti tidak bisa bicara. Terlalu lama berbaring di ruang ICU  menyebabkan aku tidak dapat bicara, ataupun berjalan, tubuhku sangat lemas. Aku hanya bisa mengedipkan mataku dan menangis sepanjang hari.

Dalam sakitku, kakakku setia mendampingiku, Kakak mengajakku bicara walau aku tidak bisa menjawabnya. Karena dirawat dengan penuh cinta oleh keluargaku, aku akhirnya diizinkan pulang ke rumah walaupun harus melakukan rawat jalan karena ternyata aku juga mengalami disartria, yaitu gangguan motorik kerusakan pada saraf yang menyebabkan otot-otot yang memproduksi  ucapan menjadi lumpuh. Dan kata dokter aku tidak bisa disembuhkan.

Meskipun begitu, keluargaku tidak pernah menyerah. Kakakku selalu mengajakku berlatih bicara, memperkenalkanku pada huruf vokal a,i,u,e,o. Kakak membacakan buku cerita kepadaku, cerita yang mampu kubaca dalam hati namun sulit kusuarakan. Bahkan, kakak melatihku untuk berjalan seperti bayi. Kakakku selalu menuntunku, dan setiap langkah keberhasilan yang aku peroleh disambut dengan tepukan tangan yang riuh.

Selama aku terbaring sakit, rasa bersalah melingkupiku seperti kabut tebal. Setiap hembusan napasku terasa dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam. Rasanya seperti beban yang terus-menerus menekan dadaku, mengingatkanku pada kesalahan besar yang telah kulakukan. Kakakku, sosok yang selalu ada untukku, sudah berkali-kali memperingatkanku untuk menjaga kesehatanku. Namun, aku terlalu keras kepala untuk mendengarkan. Aku mengabaikan larangan-larangan itu, seolah pikiranku tertutup rapat oleh keinginan egoisku sendiri.

Melihat kakakku dengan penuh kasih sayang dan kebaikan hati merawatku dalam keadaanku yang rapuh ini, membuatku merasa tak berdaya. Aku menyaksikan bagaimana kakak dengan sabar mengurusiku, memberikan obat-obatan, menyiapkan makanan, dan bahkan menghiburku saat aku merasa putus asa. Setiap tindakannya itu seperti pukulan telak yang menghantam hatiku, mengingatkanku betapa kakak menyayangiku.

Yang membuatku semakin terguncang adalah ketidakmampuanku untuk menerima hukuman yang seharusnya kutanggung. Tak seorang pun memarahiku meskipun aku tahu benar bahwa sakit ini adalah akibat dari keegoisanku sendiri. Aku mengabaikan nasihat baik yang telah diberikan oleh kakak yang peduli padaku. Dan sekarang, aku harus menanggung konsekuensi.

Kegelisahan dan kegalauan merayapi pikiranku, menciptakan kekacauan yang tak tertahankan di dalam diriku. Aku berharap bisa kembali ke waktu dan merubah segala kesalahan yang pernah kulakukan. Namun, aku tahu bahwa itu hanya angan belaka. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah belajar dari kesalahan dan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mengulanginya lagi di masa depan.

Ternyata, waktu memberi kesempatan untukku memperbaiki kesalahanku. Setelah lima bulan lamanya, akhirnya aku bisa kembali bicara. Perkembangan pesat terjadi pada kesehatanku saat aku mampu berjalan dan berdiri kembali. Saat kakakku melihatku pertama kali berjalan, bukan hanya kegembiraan yang terpancar dari reaksinya, tapi air matanya turun. Lalu, kakak memelukku erat sekali, Pelukan itu terasa hangat, memenuhi hatiku dengan rasa syukur dan kebahagiaan yang tak terkira. Di dalam pelukan hangat kakakku, aku merasakan betapa besar kasih sayang yang telah dilimpahkan padaku.

Selama masa pemulihan ini, aku memahami betapa pentingnya menerima saran dan nasihat dari orang-orang yang peduli, terutama dari kakakku. bagaimana egoisme dan ketidakpatuhan terhadap larangan bukan hanya merugikan diriku sendiri tetapi juga membuat banyak orang bersedih. Di balik larangan-larangan yang diberikan oleh kakakku, sebenarnya tersembunyi sebuah cermin kepedulian dan kekhawatiran yang mendalam. Meskipun pada awalnya aku melihat larangan-larangan itu sebagai hambatan yang mengganggu keinginan dan kebebasanku, aku mulai memahami bahwa larangan itu bertujuan untuk melindungiku.

Saat kakakku melarangku menikmati mi instan favoritku atau larut malam di ruang dapur, pada dasarnya kakak berusaha melindungiku dari bahaya dan risiko yang mungkin terjadi. Kakak peduli akan kesehatanku, bahkan ketika aku sendiri tidak menyadarinya. Melalui larangan-larangan itu, kakakku ingin menjagaku.

Mungkin ke depannya aku akan melakukan banyak kesalahan lagi, tapi dari hal ini aku akan belajar untuk lebih menghormati. Terima kasih kakak atas kasih sayang dan cinta yang telah dicurahkan kepadaku. Aku menghargai setiap momen di mana kakak tetap bersamaku, bahkan ketika aku tersandung dalam kesalahanku sendiri. Aku berjanji untuk terus memperbaiki diri, dan menjaga diriku. Terima kasih atas segala larangan-larangan dan atas setiap perhatian kakak yang begitu hangat. Semoga kakak dan aku diberi umur panjang, sehingga bisa bersaudara lebih lama.





---------------------------------------------------------------------------------------------------

Artikel ini juga diterbitkan di sini:

Terima Kasih Sudah Menjagaku Kak | Klik Warta


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.