ABIM SI KERA SAKTI

Sumber Foto : pinterest


     Namaku Abim, Abimana Ardiga. Kata beberapa orang aku lebih mirip seekor kera dibandingkan manusia. Bukan tanpa alasan mereka berkata demikian, mungkin karena kulitku hitam dan tinggi yang tidak jauh berbeda dengan seekor kera dewasa. Itulah mengapa julukan tersebut melekat pada diriku. Tidak perlu merasa kasihan untuk hal ini, aku sudah terbiasa. 


    Jadi teringat ketika aku duduk di kelas 1 SMP. Kala itu, sekolahku mengadakan lomba pensi drama dalam acara memperingati bulan bahasa. Hampir semua kelas sudah punya persiapan untuk lomba pensi, tetapi tidak dengan kelasku.


    “Jadi kita mau bawain drama apa untuk pentas seni?” tanya Vida. Vida adalah ketua kelas di sini. Ia sosok ketua kelas yang cantik dan tegas. “Gimana kalau Malin Kundang?” usul Arif. Dia adalah teman sekelasku yang duduk paling depan. “Gak bisa, itu udah dipake sama anak kelas sebelah,” jawab Arimbi, yang duduk  tepat di belakangku. “Bawang Merah dan Bawang Putih aja gimana?” Kali ini Natasya yang biasanya hanya menyimak ikut memberi usul. “Terlalu biasa!” teriak Arul dari belakang kelas. “Gimana kalau cerita yang unik tapi gak ngebosenin?” ujarku ikut memberi masukan. 

    

    Kami sekelas ikut pusing memikirkan drama yang pas untuk pensi. Beberapa teman mulai membuka Google untuk mencari inspirasi, ada juga yang menutup matanya dengan kepala di atas meja, katanya, “Inspirasi bisa datang dari alam bawah sadar.” Agak aneh memang, tapi biarlah. “Aku ada ide!” seru Vida tiba-tiba seraya menggebrak meja, membuat seluruh isi kelas terkejut. “Gimana kalau  kita bikin drama Kera Sakti?!” ujarnya dengan penuh semangat. 


    Semua teman sekelasku menyetujui hal itu, entahlah mereka benar-benar setuju atau sudah pasrah. “Terus kira-kira siapa yang meranin tokoh Kera?” Seketika seisi kelasku menoleh ke arahku dengan senyuman yang sulit diartikan dan menakutkan bagiku. “Apa?” tanyaku dengan muka polos. “Aku gak mau memerankan tokoh Kera!” jawabku. Sebelum teman-temanku bertanya lebih lanjut, aku sudah paham apa maksud mereka. “Tapi kamu cocok banget meranin tokoh ini.” ucap Natasa dengan wajah penuh keseriusan. “Kulit kamu kan hitam terus kamu juga pendek, jadi pas buat tokoh Kera, ” sahut Arif, ikut-ikutan. 


    Sudah lima menit berlalu sejak aku menolak tawaran memerankan tokoh Kera, tapi teman-temanku terus memaksaku dengan alasan aku yang paling mirip dengan kera. Karena mereka terus-terusan memaksa, akhirnya aku kalah dan menerima untuk memerankan tokoh Kera dalam pentas seni nanti. 


    Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan untuk sakit demam pada hari pentas seni, tapi ternyata doaku belum dikabulkan karna di sinilah aku berdiri sekarang, di atas panggung pentas seni lengkap dengan kostum dan mekup seperti seekor Kera. Jujur, aku malu tetapi aku tidak ingin mengecewakan kelasku. Suara tepuk tangan penonton menjadi penanda telah selesainya drama. 


    Kelasku memenangkan juara 1 dalam lomba ini. Aku turut senang karena usahaku berlatih selama dua minggu ternyata tak sia-sia, walaupun awalnya aku merasa enggan untuk memerankan tokoh ini. Setelah pengumuman selesai, aku memutuskan untuk melepas kostum dan membersikan mukaku. “Kok bisa aku seganteng ini?” ujarku pada diriku sendiri di cermin kamar mandi yang sedikit retak. Saat sedang asik bercermin, perutku terasa sedikit lapar, maka dari itu aku memutuskan untuk pergi menuju kantin.


    “Hai, Kera!” sapa seorang siswi yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. “Abim!” panggil Alika. Alika adalah temanku dari kelas sebelah. Aku menghampirinya lalu bertanya “Iya, kenapa kamu manggil aku?” Alika dan beberapa temanya tertawa membuat aku bingung sendiri “Kenapa? Apa yang lucu?” tanyaku lagi. “Abim, copot dulu kostum Kera kamu!” Mendengar itu, aku sedikit bingung karna sekarang aku sedang tidak memakai kostum Kera. “Aku udah gak pake kostum KERA,” ujarku menjelaskan. ”Oh, iya. Habisnya kamu sama kera gak ada bedanya, jadi aku kira kamu masih pakai kostum,” ujar Alika, yang diikuti tawa, bahkan orang-orang di sekitar yang mendengar hal itu ikut tertawa. Aku tersenyum kecil, lalu memutuskan untuk pergi. 


    Sudah beberapa hari sejak pensi berlalu, tetapi orang-orang di sekolah tetap memanggilku dengan julukan kera, bahkan tak jarang aku menemukan coretan di mejaku yang bertuliskan ‘Abim si Kera’. Julukan ini membuatku menjadi tidak percaya diri dalam berteman. Aku menjadi sosok yang pendiam dan kerap ketakutan.  Setiap hari aku merasa takut untuk pergi ke sekolah. Mungkin bagi teman-temanku ini adalah sebuah lelucon,  tetapi tidak bagiku. Hal ini menciptakan keresahan untukku dalam belajar. Aku bahkan tak punya semangat lagi untuk belajar di sekolah.


    Keresahan pada diriku tercipta karna ucapan orang-orang di sekitarku yang mungkin terdengar lucu bagi mereka. Ini  membuatku menjadi Abim yang pendiam dan penyendiri. Karena sudah lelah mendengar ejekan teman-temanku, aku mencoba bicara kepada Bunda untuk pindah sekolah.

“Bun, aku mau pindah sekolah, dong,” ujarku pada Bunda yang sedang asik menonton TV. “Loh, kenapa? Abim dijahatin di sekolah?” tanya Ayah yang tiba-tiba datang dan ikut duduk di samping Bunda. “Di sekolah Abim dikataiin mirip sama kera!” ujarku frustasi. “Ah, paling teman-teman kamu cuman bercanda,” ujar Ayah. “Tapi bercanda mereka sudah keterlaluan, Yah. Masa meja Abim dicoret-coret. Terus di daftar piket, nama Abim berubah jadi Abim si Kera.” Aku mencoba menjelaskan dengan sebisa mungkin agar Ayah mau memindahkanku ke sekolah lain. “Kalau Ayah gak mau pindahin sekolah Abim, mending Abim gak usah sekolah aja!” ucapku dengan kesal dan penuh emosi.


    Aku melihat Bunda hanya tersenyum, lalu ia menggenggam tanganku “Abim dibilang mirip kera sama temen-temen Abim?” tanya bunda dengan lembut kepadaku. “Terus pas dibilang mirip kera apa yang Abim lakuin?” tanya bunda  lagi, membuatku terdiam seribu bahasa. “Terus karena hal ini Abim mau pindah sekolah?” Kali ini aku menjawab dengan anggukan. “Abim tau gak, apa yang bikin manusia sama kera itu berbeda?” tanya Bunda untuk ke sekian kalinya. “Cara jalannya ...?” jawabku agak ragu. 

    

    Bunda lagi-lagi tersenyum. “Manusia itu punya akal tapi kera enggak,” jawab Bunda. “Kera itu kalau ada masalah diselesaikannya pakai insting hewannya, tapi manusia enggak,” lanjut Bunda. Aku hanya diam, tak mengerti apa yang dimaksud oleh Bunda. “Sekarang kalau Abim nyelesain masalah Abim dengan cara pindah sekolah, apa bedanya Abim sama kera?” Bunda mengelus tanganku lembut. “Abim gak boleh takut sama hal-hal yang bikin Abim resah. Abim harus bangkit dan tujukkin kalau Abim beda sama kera.”


    Sejak dinasehati Bunda, aku menjadi punya keberanian. Aku terus belajar dan mendapatkan juara di kelas. Karna kepintaranku, aku mendapat banyak teman. Teman-tamenku masih memangilku dengan julukan kera tetapi bagi mereka, aku adalah Kera sakti sekarang. Kera yang bisa membantu mereka jika kesulitan dalam pelajaran.


     Bagiku julukan kera bukanlah menjadi masalah sekarang. Aku memang hitam, pendek, dan sedikit gendut seperti kera, tapi aku berbeda. Aku akan jadi satu-satunya kera yang mempunyai akal pikiran. Keresahanku pada julukun kera dan ucapan orang-orang padaku, tidak bisa lagi aku jadikan alasan untukku menjadi seorang penyendiri. Karena jika aku merasa gelisah, resah, ataupun takut, aku punya pilihan untuk diam atau bangkit. Dan aku,     Abimana Ardiga. Memutuskan, untuk bangkit dari keresahku.


    Lagi pula julukan kera memang cocok untukku. Walau pendek, hitam, dan sedikit gendut, kera selalu jadi hewan yang paling dicari-cari di kebun bintang dan begitu pula aku, walau jelek, hitam, dan sedkit gendut, aku tetap yang paling dicari-cari kalau temanku butuh contekan. Jadi inilah sedikit kisahku. Tentang aku, Abimana. yang dijuluki si kera sakti.  


                                                                                                                        17 Agustus 2020

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.